HidupMalam – Mahkamah Agung menolak judicial review warga atas pergub DKI Anies Baswedan soal ganjil genap di sejumlah ruas jalan di Jakarta.

Pergub Anies Baswedan yang di judicial review tersebut adalah Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 88 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 155 Tahun 2018 tentang Pembatasan Lalu Lintas Dengan Sistem Ganjil Genap tertanggal 6 September 2019.

Duduk sebagai ketua majelis, Irfan Fachruddin, dengan anggota Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi. Adapun sebagai panitera pengganti Muhammad Usahawan.

“Menolak permohonan keberatan HUM,” demikian tulis panitera MA dalam situs website-nya, Selasa (5/7/2022).

Judicial review Pergub itu dilayangkan oleh Heru Widodo (warga Kota Bekasi), Imam Anshori Saleh (warga Cipayung), Supriyadi (warga Bandar Lampung), Dhimas Pradana (warga Kota Bekasi), Endin Amirusin Dahlan (warga Bandung Barat), Ferdiaz Muhammad (warga Cakung), dan Janwardisan Hernandika (warga Kota Bekasi).

“Kami menghormati putusan HUM Mahkamah Agung sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap,” kata pemohon, Heru Widodo, Selasa (5/7/2022).

“Di luar itu, kami menaruh harapan kiranya ada inisiatif dari pemegang kekuasaan untuk mempertimbangkan harmonisasi keberlakuan peraturan per-UU-an berkaitan dengan larangan ganjil genap,” sambung Heru Widodo yang juga seorang advokat.

Penggugat beralasan perluasan larangan ganjil-genap di 25 ruas jalan umum dan 28 ruas gerbang tol bertentangan dan tidak sejalan dengan:

1. Pasal 44 ayat (1) dan ayat (3) UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan,
2. Pasal 8 dan Pasal 88 PP No. 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol;
3. Asas kejelasan tujuan pembentukan peraturan perundang- undangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun 2011;
4. Asas ‘ketertiban dan kepastian hukum’ sebagaimana diatur dalam pasal 6 huruf i UU No. 12 Tahun 2011; dan
5. Asas pengayoman dan asas keadilan, sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf g UU No. 12 Tahun 2011.

Menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan (3) UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, ditegaskan bahwa Jalan Tol sebagai bagian dari sistem jaringan jalan umum mempunyai spesifikasi dan pelayanan yang lebih tinggi daripada jalan umum yang ada.

“Di antara jalan tol dengan jalan umum, menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, terdapat ‘jalan penghubung’, yang berfungsi menghubungkan pintu keluar jalan tol menuju jalan umum dan sebaliknya, jalan yang menghubungkan dari jalan umum ke gerbang pintu masuk tol,” ujar pemohon.

“Pembatasan dan/atau pelarangan terhadap pengendara mobil pribadi berplat nomor ganjil pada tanggal genap dan sebaliknya pada waktu tertentu – incasu pada pukul 06.00 s/d 10.00 WIB dan 16.00 s/d 21.00 WIB, untuk melintasi jalan penghubung, baik untuk keluar tol ataupun masuk tol di 28 gerbang tol di Jakarta, telah meniadakan fungsi pelayanan yang tinggi dari jalan tol, dan tidak selaras serta bertentangan dengan tujuan dan fungsi dibuatnya jalan tol sebagai jalan berbayar yang berbeda pelayanannya dengan penggunaan jalan umum, dan yang kualifikasi penggunanya, bisa mobil pribadi jarak dekat, bisa pula mobil pribadi jarak jauh antar kota antar provinsi, yang tidak seluruhnya dapat disubstitusikan atau dipindahkan atau dialihkan ke moda angkutan umum,” beber pemohon.

Warga menilai Peraturan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan Nomor 88 Tahun 2019 membuat warga yang keluar dari tol di jalan jalur gage langsung ditilang.

“Keluar tol kok ditilang. Kan kita masuk tol bayar, kok keluar nggak boleh. Malah ditilang,” kata salah satu penggugat, Dhimas Pradana.

(hm/st)

Sumber detik.com